Selasa, 16 April 2019

Sepenggal Perjalanan Permusikan yang Belum Usai

Penulis meyakini bahwa sebagian besar dari kalian tentunya penikmat musik, walaupun tentunya antara satu manusia dengan yang lain memiliki selera musik atau genre yang tidak sama. Perbedaan tersebut juga dapat terlihat dari koleksi lagu, style bermusik, hasil karya musik, prestasi dalam musik dan sebagainya yang semuanya itu semakin memperkaya cita rasa musik yang ada di dunia ini. Jika kalian ditanya, apakah makna musik bagi kalian? Tentunya, kalian akan memiliki kisah tersendiri yang sangat khas dan mungkin cukup menarik atau bahkan menginspirasi orang lain. Dan kali ini, perkenankan penulis, membagikan sepenggal kisah mengenai musik dalam kehidupan penulis.

Sewaktu kecil, harus penulis akui bahwa musik bukanlah hal esensial. Penulis memaknai musik sebagai karya saja, yang mana ketika suka, ya penulis akan mengatakan suka, dan ketika tidak, ya penulis akan dengan lantang mengatakan tidak. Suatu niat untuk menggeluti dunia musik pun tidak pernah terlintas. Semua pemikiran yang tercipta pada ujungnya membuat penulis beranggapan bahwa musik adalah hal sederhana, bahkan lebih sederhana dari akademik. Penulis memang pada saat itu lebih mencintai dunia science. Benar-benar bukan latar belakang seorang musisi kan? Sampai disini, terkadang penulis ingin mengulangi masa kecil itu dan menggantikan semua kisah masa lalu tersebut dengan belajar musik. Tak hanya itu, kedua orang tua dan keluarga penulis juga tidak memiliki background musik, sehingga penulis merasa bahwa ini merupakan hal yang wajar apabila darah musik tidak ada dalam raga ini.

Penulis masih ingat betul, alat musik pertama yang penulis miliki adalah harmonika. Sebuah alat musik tiup yang bagi penulis apabila dimiliki oleh ahlinya, akan menjadi sangat luar biasa. Namun, faktanya, si harmonika malang itu ternyata tidak berada di tangan yang tepat. Tak ada perkembangan yang bisa dinilai baik, bahkan sampai suatu saat harmonika tersebut lenyap ditelan keadaan. Ada suatu usaha untuk mencarinya kembali, namun itu semua sia-sia. Penulis berpikir, mungkin si harmonika merasa tidak ada gunanya bersama penulis, dan pergi mencari orang yang lebih berbakat. Kemudian, alat musik kedua yang penulis miliki adalah sebuah recorder. Masih sebuah alat musik tiup yang sangat sederhana. Sangat sederhana karena memang tidak pada orang yang tepat. Dari sang recorder, penulis diajarkan sebuah lagu nasional, Ibu Kita Kartini. Siapa gerangan yang tidak mengetahui lagu tersebut? Apabila kalian tidak tahu, silakan pergi dari Indonesia. Hehe.

Tidak hanya lagu tersebut, recorder juga mengajarkan penulis mengenai lagu daerah, Gambang Suling. Memang, lagu-lagu yang penulis dapat mainkan hanyalah sebuah lagu sederhana. Bahkan, dengan belum majunya teknologi internet di jaman tersebut, dan masih kecil serta pendeknya pemikiran penulis serta ditambah dengan tidak adanya background musik di keluarga, akhirnya tidak ada eksplorasi lebih yang penulis lakukan dalam bermusik. Pada suatu waktu (kira-kira di kelas 3 SD), penulis akhirnya mengenal satu alat musik baru, yaitu pianika. Sebuah alat musik tiup melodis yang memiliki tuts. Sedikit banyak, aku belajar musik dari sekolah. Itupun hanya sebuah kegiatan pelengkap nilai pelajaran KTK (Keterampilan Tangan dan Kesenian) yang pada saat itu namanya diubah beberapa kali. Bahkan, KTK pun seakan hanya mengajarkan lagu-lagu nasional yang pada dasarnya menanamkan rasa cinta tanah air kepada anak-anak SD seusia penulis pada saat itu. Bahkan, penulis lebih menggelut dunia menggambar daripada musik. Penulis bahkan masih ingat beberapa wajah pahlawan yang pernah digambar yaitu Si Singamangaraja XII, R.A. Kartini, Ir. Soekarno, dan satu gambar lagi penulis lupa siapa gerangan. Begitu bangganya, gambar tersebut pun penulis tempelkan di dinding kamar hingga berbulan-bulan sampai gambar tersebut akhirnya harus tiada. Kebanggaan terbesar lainnya adalah ketika gambar pemandangan dengan media kertas gambar ukuran A3 dengan goresan sebuah pensil serta spidol warna-warni karya penulis, dipilih untuk dipajang di ruang kelas. Pada saat itu, dari 27 karya yang ada, 6 diantaranya memperoleh nilai terbaik dan menjadi dekorasi interior kelas. Sampai detik ini, hati berkata bahwa duniaku mungkin bukan di musik, namun duniaku adalah dunia rupa.

Bertahun-tahun berlalu, di bangku SMP, penulis kembali menemui sebuah pelajaran kesenian. Pada saat itu, kurikulumnya sudah cukup tersusun dengan baik, bahkan dalam satu semester meliputi 4 seni sekaligus yaitu rupa, musik, tari dan drama. Namun, di kelas 7 (1 SMP), penekanan terbesar adalah seni rupa dan seni musik karena memang basic guru seni yang mengajar berada di kedua arena itu. Bahkan pada saat itu, penulis mengikuti sebuah perkumpulan paduan suara dadakan yang siapkan untuk mengisi acara di gereja-gereja. Penulis cukup bersyukur karena sedikit banyak, penulis memperoleh pengetahuan musik. Menginjak kelas 8, ternyata guru seni penulis harus digantikan karena beliau harus pensiun. Penggantinya adalah seorang guru musik yang sangat menakjubkan. Beliau memang menggeluti musik, dan sangat piawai bermain gitar dan keyboard. Satu pertanyaan beliau yang penulis sesali adalah ketika beliau bertanya 'Adakah yang tertarik untuk belajar Gitar?'. Seketika, semua yang ada di kelas tidak ada yang menjawab ataupun mengangkat tangan. Pada saat itu, memang penulis masih memandang bahwa akademik lebih penting daripada bermusik. Alhasil, beliau hanya mengajarkan open string dan memainkan gitarnya dengan lagu yang beliau sukai. Tidak berlangsung lama, ternyata beliau akhirnya digantikan lagi dengan guru seni yang baru. Hal yang penulis ingat adalah beliau memiliki anak perempuan yang bertalenta luar biasa dalam bernyanyi. Bahkan, anak beliau tersebut sering mengisi kegiatan-kegiatan di sekolahnya. Tidak hanya itu, beliau lah yang menjadi batu pijakan penulis untuk akhirnya belajar bernyanyi walaupun secara autodidak. Masih membekas jelas, pada saat itu Ujian Akhir, penulis diminta untuk menyanyikan sebuah lagu bebas. Dan kalian tahu apa yang penulis lakukan? Hanya terdiam memegangi perut sambil berusaha mengeluarkan suara untuk bernyanyi. Jujur, penulis merasa sangat nervous dan tidak terbiasa dengan bernyanyi tunggal. Ketika bernyanyi secara koor, penulis akan merasa lebih lepas karena pada saat itu penulis berpikir suara yang terdengar adalah paduan dari berbagai suara. Berbeda dengan menyanyi perseorangan seperti ujian ini, dan pada saat itu penulis juga merasakan betapa tidak berkualitasnya suara penulis (bahkan sampai detik ini). Entah dengan sadar atau tidak, beliau mengatakan 'memang bukan bakatmu nyanyi, tapi kalo nggambar kok bagus'. Ya, pada saat itu penulis akui memang benar, karena ujian seni yang masing-masing aspeknya diujikan hanya seni rupa lah yang memperoleh nilai terbaik. Penulis menggambar dengan metode yang sama penulis lakukan saat SD, yaitu media kertas A3 dengan pensil serta spidol warna-warni. Pada detik itu juga, penulis bertekad untuk mempelajari seni musik. Aneh memang, mengapa bukan seni rupa? Entah, namun pada saat SMA ketika penjurusan seni dimulai, penulis pun sempat bingung harus memilih rupa atau musik, namun berbekal keinginan untuk mematahkan kata-kata guru seni SMP penulis tersebut, akhirnya penulis memilih terjun ke dunia musik. 

Di masa SMA, penulis memang bukanlah seseorang yang terkenal dalam bermusik, namun dengan kepribadian yang introvert ini, penulis perlahan-lahan mempelajari musik. Dasar yang diajarkan di SMA untuk alat musik adalah keyboard, dan teori musiknya secara garis besar terdiri dari not balok, tangga nada, running chord, dan cipta lagu. Penulis pun merasa berada di kelas bawah, dan memang faktanya, kutukan si harmonika itu sepertinya terus mengalir. Dalam dua pentas seni musik yang diadakan pada Ujian Semester dan Ujian Praktek pun, penulis hanya bermain glockenspiel (padahal, pemain glockenspiel juga banyak yang keren). Sebuah instrumen perkusi dengan bilah metal horizontal dengan berbagai ukuran yang dipukul dengan sebuah pemukul dan menghasilkan suara metal bernada yang jernih. Tidak hanya itu, dalam tugas penciptaan lagu pun, lagu ciptaan penulis bukan termasuk top lists. Sebuah kebanggan tersendiri memang apabila lagu ciptaannya masuk dalam top lists karena lagu-lagu tersebutlah yang nantinya diaransemen oleh masing-masing grup untuk ditampilkan dalam pentas Ujian Praktek Kelulusan. Di masa SMA, juga ada paduan suara yang bernama S'vana Adhikari Choir. Walaupun pada saat aubade, penulis ikut ambil suara di dalamnya, namun penulis bukanlah anggota S'vana Adhikari Choir karena yang termasuk di dalamnya adalah orang-orang paduan suara inti. Keinginan besar untuk mengikuti paduan suara itu sangat besar, namun apa boleh buat apabila tidak terpilih dalam anggota inti. Namun, penulis terus bersyukur karena lewat seni musik pun, penulis masih memperoleh berbagai teori musik dan bernyanyi.

Perlu kalian ketahui, sejak SMP penulis juga suka menonton acara-acara talent show terutama yang berhubungan dengan dunia tarik suara. Dari mereka-mereka yang tampil, seakan memberikan motivasi dan inspirasi bagi penulis untuk terus belajar, belajar dan belajar. Dari mulai AFI, Idola Cilik, Indonesia Idol, Indonesia Got Talent, dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahkan sampai detik ini, penulis masih terus mengikuti beberapa diantaranya melalui kanal Youtube karena tidak ada TV di kota perantauan ini. Mungkin ini sharing singkat mengenai dunia musik yang bisa penulis bagikan kepada kalian. Bagaimana dengan perjalanan dunia musik kalian?